Lukman Sholihin - Seorang budayawan muda asal Ibu Kota Jakarta yang juga pernah mengenyam pendidikan di Probolinggo, tepatnya di SMA Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. |
Dalam rubrik Fokus edisi ke III (Tiga) kali ada sedikit hal baru, yaitu tim Redaksi Majalah IKRA berkesempatan wawancarai secara eksklusif salah satu budayawan muda asal Ibu Kota Jakarta, yang mana beliau juga pernah mengeyam pendidikan di Pesantren tepatnya di PP. Nurul Jadid Paiton yaitu saudara Lukman Solihin. Berikut hasil wawancara dengan beliau tentang Perubahan Sosial Budaya pada Masyarkat Indonesia, terutama yang terjadi pada kalangan remaja.
------------------------------
Sejauh ini, kita dapat melihat terdapat perubahan-perubahan di masyarakat, misalnya dari sebelumnya tidak memiliki hape, belum mengakses internet, namun saat ini ada banyak yang memiliki hape, mengakses internet, bahkan satu orang dapat memiliki lebih dari satu hape. Berkaca dari kasus di atas, ditilik dari sisi ilmu antropologi yang mempelajari kebudayaan, apakah yang dimaksud dengan perubahan sosial budaya itu?
Dalam melihat perubahan, kita bisa membedakan antara perubahan sosial dan perubahan budaya. Perubahan sosial umumnya merujuk kepada fenomena yang dapat diindra, dapat dilihat diamati secara kasat mata, dapat didengar. Perubahan sosial itu, misalnya seperti tadi, masyarakat dari yang sebelumnya tidak menggunakan telepon pintar dalam berkomunikasi dan mengakses informasi, saat ini telah banyak yang menggunakannya. Di tingkat petani, dari yang sebelumnya memakai bajak yang ditarik oleh sapi, beralih menggunakan bajak traktor atau digerakkan oleh mesin. Ini perubahan sosial, yakni perubahan interaksi manusia dengan manusia lain dan alam sekitarnya.
Sementara perubahan budaya sifatnya lebih abstrak, berkenaan dengan persepsi, norma, dan nilai dalam hidup. Kebudayaan di sini didudukkan sebagai “driver” dalam otak dan perasaan kita yang menggerakkan kita untuk berkata, bertindak, dan menilai dengan cara tertentu, bukan dengan cara yang lain. Pertanyaannya, apakah alih teknologi, seperti penggunaan hape dan traktor, telah mengubah mindset atau pemaknaan penggunanya perihal sawah (jika berkenaan dengan traktor) atau perihal relasi sosial (jika berkenaan dengan hape). Banyak kita temukan, penggunaan perkakas yang biasa digunakan oleh orang Barat ternyata tidak sama dengan nilai atau pengetahuan seperti di Barat sana. Contoh sederhananya, penggunaan tisu bulat yang seharusnya biasa digunakan di toilet, ternyata di sini dipakai dan diletakkan di meja makan di restoran-restoran. Di Barat, dibedakan betul antara tisu toilet dan tisu untuk makan, karena dari segi bahan dia berbeda, dan mereka memperlakukan tisu juga dengan fungsi yang berbeda-beda. Sementara kita, telah menggunakan produk seperti yang digunakan oleh orang Barat, tetapi ternyata nilai-nilai seperti yang dipraktikkan di barat tidak dipraktikkan di sini. Tisu dipakai untuk segala keperluan, padahal seharusnya untuk tisu toilet.
Akan tetapi, tentu saja ada perubahan sosial yang akhirnya memicu perubahan budaya, atau perubahan di tingkat nilai dan norma di masyarakat kita. Penggunaan hape, misalnya, dapat mengubah persepsi kita tetang teman, teman dekat, teman nyata dan teman virtual. Sering misalnya kita mendengar fenomena, dalam satu meja masing-masing orang sibuk dengan gawainya (gadget), sehingga orang-orang tersebut merasa penting untuk selalu terhubung dengan teman-temannya di dunia maya, dengan mengabaikan teman satu meja mereka dari dunia nyata.
Jadi di sini menjadi jelas, bahwa perubahan sosial belum tentu mendorong perubahan budaya, namun demikian terdapat banyak fenomena perubahan sosial yang juga mendorong perubahan budaya.
Lantas, apa yang mendorong atau memengaruhi perubahan sosial budaya itu?
Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi kehidupan masyarakat kita. Paling mudah kita mendeteksinya melalui apa yang tampak, yakni infrastruktur dan teknologi. Infrastruktur seperti jalan, jembatan, pabrik, sekolah, rumah sakit, listrik, dan seterusnya dapat mendorong perubahan. Begitu pula teknologi, seperti radio pada zaman dulu, televisi, telepon genggam, internet, dan seterusnya juga dapat memantik perubahan. Desa terpencil di pelosok, misalnya, yang sebelumnya tampak adem ayem dengan kehidupan di luar desa mereka, akan segera bergegas dan berubah tatkala dibangun jalan, jembatan, dan dialiri listrik. Masyarakatnya dan masyarakat di luar desa itu lebih mudah keluar-masuk, dengan membawa benda-benda, barang dagangan, dan nilai-nilai baru. Interaksi jadi lebih intensif, sehingga hal-hal dari luar mudah memengaruhi masyarakat di desa yang semula terpencil itu. Belum lagi listrik, yang bisa segera diikuti oleh perangkat teknologi lain, seperti televisi, kulkas, dan seterusnya, dapat mengubah pola hidup masyarakat di desa itu, dari misalnya yang semula gelap dan sepi di waktu malam, menjadi lebih semarak, lebih banyak anak muda nongkrong, dan seterusnya. Belum lagi, jalan yang mulus kemudian disertai dengan masuknya para pebisnis yang menjual kendaraan bermotor, membuat keluarga-keluarga di desa itu tidak lagi merasa cukup dengan hanya berjalan kaki dan bersepeda, sebab jalan yang mulus memungkinkan digunakannya motor dan mobil baru, sekaligus untuk memantapkan status sosial sebagian anggota masyarakatnya.
Gambaran tentang desa terpencil tadi memperlihatkan bagaimana infrastruktur dan teknologi dapat mendorong perubahan bagi kehidupan suatu masyarakat.
Di kalangan remaja, perubahan apa yang paling tampak dan menarik untuk dilihat?
Jika diamati, salah satu faktor yang mendorong perubahan di tingkat remaja adalah penggunaan gawai telepon pintar dengan fitur media sosial yang banyak diakses, seperti facebook, twitter, instagram, line, dan lain-lain. Perkembangan jaringan internet yang meluas sampai ke pelosok, ditunjang oleh keberadaan gawai yang saat ini tersedia dengan harga yang beragam, mulai dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Tetapi intinya, masyarakat pada umumnya, dan remaja khususnya, saat ini mulai menganggap bahwa media sosial di internet yang diperantarai oleh gawai yang kian murah sebagai sesuatu yang penting. Ongkos membayar pulsa, misalnya, menjadi belanja rutin bulanan di samping kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang dan pangan.
Apalagi, fitur media sosial sangat mengena bagi remaja, karena di situ mereka dapat menjadi siapa saja. Media sosial memungkinkan seseorang yang semula pendiam, menjadi sangat cerewet terhadap segala hal, misalnya tampak dari status-status yang diunggah di media sosialnya. Pengguna media sosial juga dapat bersembunyi dengan cara membuat akun anonim, nama-nama aneh, sehingga si pengguna merasa tidak dipantau secara langsung oleh lingkungan sosial terdekatnya. Di samping itu, media sosial juga memungkinkan remaja untuk menjalin pertemanan yang tidak terbatas, dari beragam usia dan lintas negara. Media sosial membuat dunia seolah kecil, karena semua hal dapat dibaca, diunggah, dan dibicarakan di dalamnya.
Bagi remaja, media sosial dapat menjadi sarana pencarian identitas atau jati diri. Mereka dapat menemukan patron-patron baru, seperti artis, tokoh, kyai, dan sebagainya, yang sebelumnya tampak jauh karena namanya hanya terdengar atau namanya baru diketahui dari membaca, tetapi media sosial memungkinkan penggunanya terhubung langsung dengan idola mereka. Para fans ini dapat mengikuti facebook, twitter, maupun instagram dari tokoh yang disukai. Mereka dapat mengetahui cuitan tokoh, aktivitasnya, merek baju, atau apa yang mereka makan. Kedekatan emosional kemudian terbangun melalui media sosial itu. Sementara si artis dapat mengukur popularitasnya melalui banyaknya pengikut (follower). Jadi ada relasi timbal balik antara fans dan pengikutnya.
Apakah ada dampak buruk dari perubahan yang disebabkan oleh gawai dan media sosial itu?
Tentu saja, dari setiap perubahan, selalu mengintai dua hal, yakni dampak positif dan negatif. Dampak positif yang sejauh ini dapat disaksikan, bagi mereka yang kreatif, internet dapat menjadi media untuk memunculkan karya yang dapat diapresiasi oleh orang seluruh dunia. Banyak fenomena from zero to hero di internet. Misalnya, pengamen yang akhirnya terkenal karena seseorang mengunggah kemampuan menyanyi dan bermusiknya ke kanal youtube. Saat ini ada banyak vloger, sebutan untuk video-blogger, yakni membuat video pendek yang diunggah ke internet yang akhirnya terkenal karena banyak penontonnya. Tak ketinggalan Presiden Jokowi dan anaknya juga sering mengunggah video mereka di internet.
Ada pula kepedulian sosial yang meluas dan membesar karena jaringan yang diperantarai oleh media sosial di internet. Misalnya kasus koin untuk Prita, mampu mengumpulkan uang ratusan juta untuk membantu Prita. Ada banyak orang yang mengidap penyakit tertentu yang terbantu karena dukungan dapat dihimpun melalui internet. Pendek kata, internet mampu membuat niat baik yang dikelola dengan baik, yang memanfatkan kanal-kanal di internet untuk mendapatkan apresiasi positif.
Namun demikian, terdapat banyak pula kasus yang menggunakan internet untuk keperluan negatif. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) misalnya, menengarai bahwa rekrutmen para teroris masif dilakukan melalui internet. Ada banyak kombatan, sebutan untuk mereka yang siap perang demi membela nilai-nilai dogmatis tertentu, yang mendapatkan inspirasi melalui internet. Bahkan konon teknik membuat bom juga dengan mudah dapat dipelajari melalui internet.Contoh lain yang sering kali muncul dalam pemberitaan adalah kasus relasi pertemanan di media sosial yang berujung pada pemerkosaan, pedagangan anak dan perempuan, prostisusi online, dan seterusnya.
Tidak kalah gentingnya dari contoh kasus di atas, adalah maraknya berita palsu (hoax), yang menjalar dan menyebar melalui piranti media sosial. Saat ini, kita dengan mudah menerima berbagai postingan atau unggahan tentang politik, agama, atau nilai-nilai moral tertentu. Media sosial, bagi sebagian orang, dianggap sebagai ajang dakwah atau juga kampanye. Tentu ini hak setiap individu untuk menggunakan media sosial guna mendukung kepentingannya. Namun, yang luput disadari, dari sekian share dan posting itu, ada berita-berita bohong yang sebagian tidak disadari, dan sebagian yang lain memang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu.
Belum lama ini, misalnya, kita mendengar adanya produsen berita palsu, yaitu Saracen. Dan saya kira, ada banyak saracen-saracen yang lain yang berupaya membuat pengguna media sosial tergiring sesuai dengan keingin mereka, baik kepentingan politik, agama, dan seterusnya.
Bagaimana kita, termasuk remaja, dapat membentengi diri dari pengaruh buruk dari perubahan-perubahan yang disebabkan oleh internet, oleh media sosial?
Di sini, yang harus kita sadari, internet bukan sesuatu yang netral. Media sosial di internet digunakan bukan hanya untuk kepentingan baik, melainkan untuk kepentingan apa saja, termasuk kepentingan meraih kekuasaan, pembenaran terhadap ajaran tertentu, dan penyingkiran paham atau kelompok lain. Internet seperti pisau yang penggunaannya tergantung pemegangnya.
Nah, sebagai pengguna, hal pertama yang mungkin kita lakukan untuk membentengi diri adalah selalu menjaga rasa curiga dan waspada. Kewaspadaan ini penting, mengingat setiap pembuat berita palsu, perekrut teroris, atau “predator” yang ingin menjebak anak dan remaja, berupaya masuk ke ruang-ruang media sosial kita dengan cara yang licik. Mereka menjelma sebagai orang baik, atau datang dengan logika dan norma yang sesuai dengan yang kita yakini. Oleh karena itu, hal pertama, kita harus merasa bahwa apa yang kita baca, lihat, dan dengar di media sosial belum tentu benar.
Kedua, karena kita senantiasa curiga terhadap sesuatu yang diunggah di media sosial itu, maka jika kita tertarik terhadap satu isu, maka yang dapat kita lakukan selanjutnya adalah menelusuri isu atau berita itu. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan dengan situs atau media lain, memeriksa apakah sebuah situs atau sumber yang dirujuk oleh berita yang kita baca berasal dari situs-situs yang kredibel, terpercaya. Saat ini, ada banyak situs atau sumber berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan isinya, dan beredar luas melalui media sosial, sehingga sampai dengan mudah di hape kita. Oleh karena itu, informasi pembanding, yakni membaca dari sumber yang kita anggap terpercaya, misalnya kalau surat kabar kita bisa membandingkan dengan Jawa Pos, Kompas, Republika, dan seterusnya.
Pebandingan juga dapat dilakukan dengan menelaah sesuai sumber yang mumpuni. Misalnya terkait dengan isu keagamaan tertentu, tentu rujukan kita bersandar kepada karangan atau kitab-kitab dalam khazanah Islam, sehingga tidak mudah percaya terhadap berbagai ajakan moral yang dianggap baik di media sosial, padahal belum tentu bersandar pada sanad keilmuan yang kuat.
Ketiga, tidak mudah menyebarkan postingan yang belum kita ketahui kebenarannya. Sering kali kita mendapatkan informasi yang disertai dengan kalimat: “Jika Anda Islam, maka sebaiknya berbagi kebaikan dengan turut menyebarkannya”. Atau yang lebih pendek, “Like and Share” ya, sehingga penerima pesan itu dengan mudah terprovokasi untuk turut menyebarkannya. Masalahnya, jika setiap informasi yang kita dapat, tanpa kita teliti dan telaah terlebih dahulu, bisa jadi kita turut dalam rombongan penyebar kebohongan.
Tentu saja, setiap mereka yang turut menyebarkan informasi itu dapat berkilah bahwa dia tidak tahu betul dan hanya ikut menyebarkan, sehingga merasa terbebas dari “dosa” karena turut menyebarkan berita bohong, misalnya. Namun, kita tahu bahwa seburuk-buruknya orang adalah mereka yang tidak melakukan pembacaan (iqra’) atas apa yang ada di hadapan mereka. Tentu kita perlu meneladani Kanjeng Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam untuk senantiasa ber-iqra’ terhadap segala informasi yang kita peroleh, sebelum turut menyebarkannya.
Pendek kata, menurut saya, cukuplah berita-berita atau informasi yang tidak jelas sampai di hape kita, dan kita tidak menjadi bagian dari penyebar berita bohong, kebencian, hasutan, dan beragam pemantik kegaduhan yang sering terjadi di negeri ini.
Untuk para remaja di pesantren, apa yang harus dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan?
Hal terpenting yang perlu kita kuasai saat ini adalah literasi. Literasi dalam maknanya yang luas, yaitu kemampuan dan keterampilan dalam berbagai bidang. Misalnya, kita perlu literasi agama yang baik, yang maksudnya adalah pengetahuan yang dalam dan sahih tentang agama kita, sehingga jika terdapat informasi lain, kita dapat cerdas menanggapinya. Begitu pula literasi internet, misalnya, maksudnya pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menggunakan internet secara positif, sehingga tidak terjebak untuk menggunakan internet dengan keperluan buahg-buang waktu dan dapat berdampak negatif.
Literasi sendiri sebetulnya bermakna kemampuan di bidang menulis dan membaca. Apabila berkaca dari makna asalnya ini, maka sebagai remaja pesantren, seharusnya dituntut untuk menguasai ilmu agama di satu sisi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau kata Habibie zaman dulu, kombinasi antara Imtaq atau iman dan taqwa, dengan Iptek atau ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu, sudah saatnya para santri tidak hanya mendaras kitab, tetapi juga menelaah berbagai literatur ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesantren tidak hanya perlu menyediakan dan mengkaji kitab-kitab kuning, tetapi perlu mempersenjatai diri dengan perpustakaan yang berisi beragam buku yang dapat diakses oleh para santrinya. Kita tahu, Dinasti Abbasiyah megah berdiri dan dikenang sampai sekarang bukan hanya karena kebesaran kesultanannya, atau karena masjid dan tamannya yang megah, melainkan karena perpustakaannya yang besar dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuan yang dibiayai oleh istana. Dinasti inilah yang kelak melahirkan khazanah ilmu pengetahuan yang diwariskan ke dunia Barat sehingga melahirkan pencerahan di Eropa. Sayangnya, pencerahan di Eropa kemudian diikuti oleh masa suram ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Oleh karena itu, kejayaan Islam, yang tentu saja ditopang oleh para santri, selayaknya dibangun oleh etos keislaman dan ilmu pengetahuan. Dengan begitu, perkembangan kemajuan bangsa ini dan dunia Islam secara umum, dapat meraih apa yang menjadi imaji dalam dunia Islam: baldatun thoyyibatun warabbun ghafuur.
-----------------
Oleh : Nuraica Martha SW.
Editor : Eko Priyanto, S.T
Sumber : Lukman Sholihin
No comments:
Post a Comment